Oleh: A. Rubaidi*
Wafatnya KH. Aburrahman Wahid (Gus Dur) sebagai simbol NU meninggalkan banyak warisan pemikiran maupun aksi empiris yang tidak mudah dilanjutkan oleh warga NU. Gus Dur oleh banyak pihak dianggap sebagai representasi paling utuh dari model ke-Islam-an NU. Spektrum luas dari cakupan pemikiran maupun aksi-aksi nyata Gus Dur sepanjang hidupnya sebenarnya dapat ditarik benang merahnya pada satu hal; moderatisme Islam; Islam ala NU.
Semangat ini menempatkan Gus Dur maupun gerbong NU yang ditariknya memiliki peran- peran signifikan dan strategis dalam konstalasi kehidupan kebangsaan. Posisi Gus Dur (dan NU) sepanjang 3 (tiga) periode kepemimpinannya di PBNU diperhitungkan banyak pihak. Nilai strategisnya bukan hanya secara politik semata. Lebih dari itu, model ke-Islam-an genuine ala Gus Dur dibutuhkan sebagai perekat di tengah-tengah konstalasi pemikiran keagamaan maupun politik kebangsaan yang cenderung ekstrim; ekstrim "kanan" maupun liberal (baca: sekular). Sosok Gus Dur boleh saja dikenang sepanjang masa. Para tokoh agama maupun politik setiap tahun mengenangnya. Ribuan peziarah datang tidak ada hentinya. Pesantren Tebu Ireng, Jombang, tempat bersemayamnya jasad dan arwahnya berubah menjadi "wisata religi" dalam setiap jam, hari, dan waktu-waktu tertentu penuh disesaki oleh para peziarah dari warga nahdliyinseraya berharap nilai barakah- nya. Barakah dalam konteks antropologis tidak lain adalah sebuah terminologi dalam tradisi NU, bahwa seorang tokoh yang memiliki kekuatan supra natural dapat memberi "kemanfaatan" baik takala masih hidup maupun telah tiada. Bak waliyullah, maqam Gus Dur menjadi keramat tak ubahnya seperti maqam walisanga. Tetapi, semua itu tidak menjamin bahwa ajaran yang telah dikembangkan oleh Gus Dur diteruskan oleh mereka. Di sinilah letak gap (kesenjangan) yang tetap terbuka, antara penghormatan, apresiasi, dan meneruskan ide maupun perilaku dari orang yang dihormatinya.
Singkatnya, orang-orang yang datang berziarah maupun berbagai seremoni untuk mengenang Gus Dur hanya berhenti sampai di situ saja. Padahal, yang dibutuhkan tidak hanya ragam penghormatan formalitas. Lebih penting dari semua adalah meneruskan garis perjuangannya secara nyata. Pribadi yang Utuh Harus diakui, sejauh ini belum ditemukan sosok pemimpin ormas Islam di Indonesia seperti Gus Dur. Tidak diketahui persis, kapan akan hadir seorang tokoh baru yang merepresentasi seperti dirinya. Gus Dur tidak hanya dibutuhkan warga NU, tetapi segenap komponen bangsa yang plural dan majemuk ini membutuhkan kehadiran sosok sepertinya. Dia tidak hanya mengayomi umat Islam, warga non muslim juga merasa mendapat perlakuan yang sama. Dibalik ke- nyleneh- an perilaku maupun pemikirannya, sesungguhnya itulah cerminan dari doktrin esensial dari ahlussunnah wa al-Jama'ah (baca: Aswaja). Ajaran Aswaja yang telah dikembangkan oleh para kiai dan ulama terdahulu secara baik dan benar dipraktekkan oleh Gus Dur. Di kalangan para pemerhati tasawuf maupun mistisisme Islam, perilaku maupun pemikiran Gus Dur sebenarnya bukan barang baru.
Banyak perilaku dan pemikiran ala Gus Dur dijumpai dengan mudah pada diri kalangan kiai/ ulama NU tempo dulu. Inti dari seluruh pemikiran maupun perilaku Gus Dur mencerminkan prinsip-prinsip tawassut (moderatisme) tawazzun (seimbang), i'tidal (adil), dan amal ma'ruf nahi al-Munkar . Prinsip demikian secara eksplisit ada pada khittah NU 1926. Tetapi, melakukan sublimasi nilai-nilai tersebut menjadi produk pemikiran, bahkan menjadi bagian dari perilaku sehari-hari bukan persoalan mudah. Produk pemikiran ini dihasilkan dari rekonstruksi antara doktrin teologi (kalam), tasawuf, dan fiqih seperti yang dipegangi oleh NU secara integral. Dalam konteks NU sendiri, integrasi ketiga doktrin tersebut jarang dijumpai pada komunitas NU, termasuk para elit mereka. Kecenderungan nuansa fiqih lebih mendominasi. Tidak mengheran jika di kalangan elit NU dijumpai banyak kelompok resistensi terhadap Gus Dur. Pemikiran terakhir ini tentu saja melahirkan ragam ekspresi ke-Islam-an yang cenderung literalis, tekstual, "hitam putih," dan matematis; salah-benar.
Dalam batas-batas tertentu, corak pemikiran ini tidak ubahnya seperti makna fundamentalisme Islam dalam menafsirkan Islam. Perilaku ini mulai marak di kalangan elit NU. Ekspresi ke-Islam-an Gus Dur jauh dari potret literal itu. Dalam banyak kasus, Gus Dur tidak pernah menghukumi seseorang maupun aliran keagamaan yang oleh "publik" dipandang sesat. Kasus Inul, Ahmad Dhani, Arly Canggana (Konghucu) dan banyak individu lain, pada saat dihukumi oleh publik, Gus Dur hadir untuk membela. Begitu pula dengan sikap dan pendirian Gus Dur seputar isu pluralisme, HAM, demokrasi, gender, dan sebagainya mencerminkan keteguhan pendirian, bahwa Islam compatible dengan berbagai isu tersebut. Sekalipun Gus Dur tidak pernah menghukumi secara hitam-putih menggunakan pendekatan fiqih oriented semata. Sebabnya adalah, selain fiqih masih terdapat doktrin lain, yakni kalam (teologi) dan tasawuf. Kedua doktrin terakhir (lebih- lebih tasawuf) selalu menekankan harmoni (baca: moderasi) dalam menyelesaikan persoalan. Sosok semisal Gus Mik (KH. Hamin Jazuli, Ploso, Kediri) yang dikenal luas waliyullah medan dakwahnya menyisir daerah "hitam"; Pelacuran, dunia malam, cafe, diskotik, dan tempat-tempat identik dengan itu.
Dari perspektif fiqih tentu saja akan bertolak belakang. Tetapi, pendekatan tasawuf tidak mengenal batas-batas "hitam- putih" atau halal-haram, serta dosa atau tidak berdosa. Tokoh seperti Gus Mik juga tidak pernah menyalahkan, apalagi menghukumi seseorang karena telah lama tenggelam dalam kehidupan prostitusi atau sejenisnya. Seolah-olah, baik Gus Mik maupun Gus Dur menyuarakan Islam tetapi tanpa suara. Menyadarkan orang tanpa publikasi. Mengasihi orang tanpa pamrih. Di sinilah, Islam secara inklusif menemukan makna esensialnya. Dalam mengekspresikan Islam yang diyakininya, sosok Gus Dur adalah figur dengan integritas tinggi. Integritas ini terlihat dari sikap Gus Dur yang tidak pernah berubah alias konsisten sepanjang karir intelektualnya sebagai pemikir Islam garda depan. Tidak mudah mencari figur seperti Gus Dur yang berani mempertaruhkan kehormatan, karir, dan berbagai atribut lainnya hanya untuk membela suatu keyakinan yang dianggap benar sesuai ajaran Islam. Sayangnya, sosok maupun pemikiran Gus Dur selain mendapat tantangan dari sesama kolega muslim (di luar NU) maupun di dalam lingkaran dalam NU sendiri. Paska turunnya Gus Dur dari tampuk kepemimpinan PBNU dan aktif di dalam partai politik (PKB), eksistensinya, baik secara pribadi maupun pemikiran terjadi proses delegitimasi. Delegitimasi dimaksud berasal dari perorangan maupun kelompok (terutama) di lingkaran dalam yang lebih berorientasi kepada politik kekuasaan dan berbagai simbol kepentingan yang bersifat pragmatisme lainnya. Walaupun ide-ide Gus Dur telah banyak diadopsi oleh kalangan muda NU, sayangnya kelompok ini belum mendapatkan kesempatan untuk memimpin NU.
Akibatnya, kelompok muda ini mudah dipatahkan, bahkan fenomena akhir-akhir ini sering dicap sebagai pengusung pemikiran Islam berhaluan oposan terhadap mainstream pemikiran para elit NU. Bergesernya Pendulum NU Akibat delegitimasi terhadap Gus Dur, sejak era reformasi, khususnya fase setelah tahun 2000-an, terdapat banyak gejala disintegrasi yang ditandai dengan menguatkan kelompok fundamentalisme Islam sebagai trigger of- nya. Gus Dur memang bukan variabel satu- satunya. Era reformasi ditandai terbukanya kran demokrasi dan memberi ruang bagi ekspresi komponen bangsa, termasuk kelompok Islam politik adalah alasan utamanya. Tetapi, figur Gus Dur yang membawa gerbong NU merepresentasikan salah satu penyangga utama moderatisme Islam di Indonesia tidak bisa dinafikan begitu saja. Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, baik dalam kapasitasnya sebagai Ormas maupun Parpol, NU terlibat secara aktif dalam mempertahankan konsep NKRI sekaligus berhadapan secara vis-a-vis kalangan Islamisme yang berusaha menegakkan negara Islam di Indonesia.
Walaupun tidak dapat dipungkiri, bahwa wajah dan warna ideologi Islam di dalam tubuh NU bukan tunggal. Sejak dahulu, varian pemikiran yang bercorak fundamentalis (Islamis) ada di dalam NU. Tetapi faksi tersebut hanya menjadi pernak- pernik dan tidak pernah menjadi mainstream. Sebaliknya, paska proses delegitimasi terhadap Gus Dur, corak pemikiran literalis dan tekstual banyak menguasai struktur organisasi NU. Fenomena ini mulai terlihat sejak awal 2000- an dan puncaknya terlihat pada 2007 hingga sekarang. Fenomena tahun 2007 ditandai dengan diskursus seputar Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), kasus Ahmadiyah, pencabutan UU PNPS 1965 tentang penodaan agama dan kehidupan umat beragama dan berbagai Perda bernuansa Syariat Islam.
Pada beberapa isu yang disuarakan dan didorong kuat oleh kalangan Islamisme ternyata juga diamini oleh NU. Fearly menggambarkan atmosfir politik demikian ini sebagai tiadanya batas-batas yang jelas antara kelompok Islam politik maupun Islam kultural yang direpresentasikan salah satunya oleh NU. Puncak dari bergesernya NU dari moderatisme terlihat pada tragedi Monas yang melibatkan organ Islamisme (FPI cs) dan AKBB. Terlihat sekali, NU lebih condong membela kelompok Islam garis keras ini. Dalam kondisi demikian, Gus Dur tetap menyuarakan Islam yang diyakininya seraya melawan arus utama, walaupun seorang diri. Fase baru perubahan kepemimpinan NU di bawah kendali KH. Said Agil Siraj juga tidak menunjukkan adanya arah perubahan pemikiran di dalam tubuh NU. Bahkan, ironisnya, kepemimpin yang baru ini lebih memilih "jalan aman" dengan mendekat kepada pusat kekuasaan. Pilihan sikap politik ini oleh banyak kalangan dikaitkan dengan kedekatan pribadi Ketua Umum PBNU dengan Presiden SBY dan sekaligus jasa SBY yang ikut mensukseskan terpilihnya Siraj. Akibat pilihan politik ini pula, NU ditinggal oleh kalangan pemimpin agama- agama yang merepresentasikan elemen civil societysaat mereka melakukan evaluasi kritis terhadap kepemimpinan SBY. Pemandangan ini kontras dengan kepemimpinan Gus Dur di PBNU saat berhadapan dengan rezim Suharto. Meskipun NU adalah satu-satunya ormas Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial dan politik, tidak membuat NU dengan serta merta dekat, apalagi membebek dengan kekuasaan.
Sebaliknya, NU tetap merepresentasikan sebagai simbol kekuatan civil society dengan memberi tafsir baru tentang Pancasila yang berbeda dengan tafsir penguasa yang hanya untuk kepentingan politik belaka. Bergesernya pendulum moderatisme Islam NU langsung maupun tidak langsung ikut menyuburkan gerakan Islamisme di berbagai daerah. Indikasinya paling tidak terlihat dari dua aspek; (1) Maraknya Perda bernuansa Syariat, dan (2) Tingginya tingkat intoleransi dan diskriminasi atas nama agama. Sejak era reformasi, intensitas Perda Syariat Islam dan tindakan intoleransi dan diskriminasi atas agama meningkat secara tajam. Data ini terlihat dari laporan tahunan Wahid Institute (WI) dan Setara Institute. Sejak era reformasi 1999-2009, tercatat Perda Bernuansa Syariat Islam dalam skala nasional sebanyak 152. Dari 152, Jawa Timur terdapat 13 Perda Syariat Islam. Jawa Timur menduduki rangking kedua setelah Propinsi Jawa Barat. Hal yang sama juga terjadi pada kasus tindakan intoleransi atas nama agama. Menurut data WI yang didasarkan atas pantauan di 13 Propinsi, selama tahun 2010 saja, tercatat kasus intoleransi skala nasional sebanyak 135 kasus. Penjabaran 135 kasus meliputi; Propinsi Jawa Barat menduduki tingkat tertinggi, 44 kasus (33%), diikuti Jawa Timur 26 kasus (19%), DKI 18 kasus (13%). Selebihnya adalah daerah- daerah dengan kasus lebih sedikit. Berbeda dengan WI, dalam laporan tahunan yang sama, Setara Institute melaporkan tindakan intoleransi sebanyak 216 kasus. Dalam konteks Jawa Timur, peristiwa ini tidak dapat dipisahkan dari peran NU, baik langsung maupun tidak langsung. Tingginya kemunculan Perda Syariat Islam dan kasus intoleransi atas nama agama diduga kuat karena terjadinya pergeseran sikap moderatisme NU. Lahirnya Perda Syariat Islam tidak dapat dilepaskan dari proses legislasi di tingkat dewan. Sementara, selama era reformasi, PKB menjadi partai pemenang. Hal ini belum menghitung kader NU di partai lain selain PKB.
Fakta ini masih didukung dengan data tentang berpindahnya lapisan kelas menengah NU dari struktur formal NU maupun pesantren beralih ke berbagai organisasi yang diidentikkan dengan Islam radikal seperti PKS, HTI, FPI, dan sebagainya. Beberapa pimpinan pesantren di Pasuruan dan Jember diidentifikasi telah bergabung menjadi HTI. Begitu juga, di beberapa kepengurusan MWC-NU ditemui ketua maupun pengurusnya yang merangkap jabatan sebagai pengurus HTI, PKS, maupun yang identik dengan itu. Bukankah ini semua adalah fenomena bergesernya garis moderatisme NU?.
* Penulis adalah Kandidat Doktor Pemikiran Islam di Paska Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dan sedang mengikuti Program Sandwich di Australian National University (ANU).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar